Tulisan dibawah ini adalah seputar permasalahan Konsumen, tp sebagai Developer atau calon Developer sebaiknya perlu tahu masalah dibawah ini, spy bisa bercermin..
Untuk mendapatkan hunian yang tepat Anda harus melihat sekian banyak rumah sebelum memilih satu di antaranya.
1. Guna meminimalisir kemungkinan serah terima rumah meleset, beli rumah di perumahan yang memiliki legalitas
lengkap. Lihat ke lokasi, apakah proses pematangan tanahnya sudah
berjalan. Cek secara berkala progress pembangunan rumah. Sesuaikan
pembayaran dengan progress. Pembelian tunai hanya layak untuk rumah
siap huni.
2. Khusus apartemen sebaiknya beli yang sudah jadi.
Baik juga bila developernya anggota asosiasi seperti REI dan Apersi.
Jadi, kalau ada masalah bisa minta bantuan asosiasi untuk
mendisiplinkan anggotanya.
3. Pastikan jadwal serah terima rumah tercantum
dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan AJB. Sudah mulai ada
developer yang berani menerakan jadwal serah terima dalam tanggal,
bukan hanya bulan. Jangan menerima saja klausul dalam PPJB karena
sering menempatkan konsumen dalam posisi lemah. Misalnya, bila
terlambat mencicil didenda satu permil per hari. Sebaliknya, kalau
serah terima rumah telat, developer hanya dikenai pinalti terbatas.
Bila hak dan kewajiban para pihak tidak seimbang, jangan ragu meminta
developer memperbaikinya.
4. Pastikan Anda meneken PPJB dengan developer atau
pihak lain yang dikuasakan developer. Sebaiknya proses PPJB juga
dilakukan di hadapan notaris/PPAT yang Anda pilih atau dari developer.
Minta draft PPJB sebelum membayar uang muka. Tak perlu khawatir
transaksi batal karena kecerewetan Anda. Masih banyak pilihan rumah
lain.
5. Spesifikasi bangunan tidak sesuai janji
Dalam brosur developer hanya menyebutkan spesifikasi material secara
umum. Tapi, kini sudah ada beberapa yang berani mencantumkan merek
dalam PPJB. Bila memungkinkan beli rumah di perumahan seperti itu.
Kalau tidak, minta developer menyebutkan spesifikasi material itu
dalam PPJB atau AJB. Cek pembangunan rumah untuk memastikan
spesifikasi bangunannya memang sesuai janji. Bila melenceng sejak awal
Anda bisa mengoreksi.
6. Bangunan tidak rapi
Problem ini terkait kualitas pemborong yang dipakai developer, dan kita
belum memiliki sistem pemeringkatan kontraktor. Karena itu yang bisa
dilakukan, melihat finishing rumah contoh, rumah yang sudah jadi, atau
rumah di proyek developer sebelumnya (kalau ada). Kiat lain dengan
mencek proses pembangunan rumah, sehingga Anda tahu kualitas
pengerjaannya dan bisa segera mengoreksi bila ada yang tidak
memuaskan. Kalau kualitas rumah tetap tidak sesuai janji, jangan mau
meneken berita acara serah terima.
7. Pembangunan tidak sesuai konsep awal
Pengembangan perumahan memiliki master plan (rencana induk) dan site
plan (rencana tapak yang lebih detail). Tapi, master plan dan site
plan hanya informasi peruntukan lahan: permukiman, fasilitas termasuk
ruang terbuka, prasarana dan utilitas seperti jalan, selokan, dan
jaringan listrik. Konsep pengembangan perumahan tidak tergambar di
master plan. Developer bisa membangun dengan konsep apapun sepanjang
tidak menyalahi master plan dan site plan. Mungkin ada fasilitas yang
wajib disediakan seperti sekolah, klinik, dan rumah ibadah. Tapi,
boleh jadi developer hanya wajib menyediakan lahan. Sementara
fasilitas seperti mal atau club house bersifat opsional. Karena itu
kalau developer berkoar akan mengembangkan rumah taman bergaya klasik
dilengkapi club house, tak ada yang bisa Anda pegang kecuali
komitmennya. Yang diperjanjikan dalam PPJB dan AJB hanya rumah. Upaya
yang bisa dilakukan agar janji itu dipenuhi, adalah dengan membeli di
perumahan yang dikembangkan developer dengan reputasi cukup baik.
Selebihanya lebih baik berkonsentrasi memastikan posisi rumah: jauh
dari gardu listrik, tidak di bawah saluran listrik tegangan tinggi,
tidak akan tergusur jalan tol, dan lain-lain. Untuk itu cek langsung
ke lokasi karena semua itu tidak tergambar di master plan.
8. Ukuran kaveling tidak sesuai sertifikat
Kasus ini biasanya terjadi pada kaveling sudut (hook) atau di pinggir
blok yang memiliki sisa tanah. Untuk menangkalnya, lihat denah
kaveling hasil pengukuran kantor pertanahan. Tanyakan juga sistem
developer menghitung luas bangunannya. Kalau kurang yakin, minta
diukur ulang. Kekurangan hingga lima persen masih bisa ditoleransi.
Pastikan ukuran kaveling resmi tercantum dalam PPJB dan AJB termasuk
posisinya di site plan. Untuk itu tambahkan klausul sanksi bagi
developer bila saat serah terima, luas kaveling tidak sesuai AJB.
Lakukan transaksi di hadapan notaris/PPAT. Sebaiknya beli rumah dengan
fasilitas KPR karena bank akan ikut memastikan luas kaveling dan
bangunannya.
9. Kaveling dipindahkan tanpa persetujuan konsumen
Masalah ini bisa diantisipasi dengan meminta developer menambahkan
klausul pemindahan posisi kaveling dalam PPJB. Untuk itu di PPJB
pastikan posisi kaveling Anda sesuai site plan.
10. Komplain tidak ditanggapi selama masa garansi
Ini juga bisa diatur dalam PPJB. Sampaikan komplain secara lisan dan
tertulis, dan pastikan developer menerimanya. Bila tidak ditanggapi, tak
ada salahnya menulis surat di koran, meminta bantuan asosiasi
developer, atau bahkan membawa kasusnya ke badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK) atau YLKI. Problem juga bisa diminimalisir dengan
mencek proses pembangunan, agar Anda mengetahui sejak dini potensi
masalah pada rumah dan segera meminta developer mengatasinya. Cek
secara seksama kondisi rumah sebelum serah terima, termasuk kondisi
utilitasnya.
11. Pengelolaan lingkungan tidak memuaskan
Selama masa pengembangan, pengelolaan lingkungan biasanya ditangani
estate management yang dibentuk developer, didukung estate regulation
berikut iuran pengelolaan (IPL)-nya. Anda bisa melihat kualitas
pengelolaan dan estate regulation itu saat membeli rumah.Bila
kurang sreg Anda bisa mencari rumah lain, atau meneruskan transaksi
dan bersama penghuni lain membentuk perhimpunan untuk mendesakkan
perbaikan. Dalam hal ini harus jelas standar pengelolaan lingkungan
yang diinginkan, karena akan berujung pada nilai iuran yang harus
dibayar. Selain itu dengan standar yang jelas, puas atau tidak puas
lebih terang ukurannya. Yang repot sering di sebuah perumahan baru
sedikit yang mendiami rumahnya, sehingga banyak pemilik menunggak iuran
yang berdampak pada pengelolaan lingkungan. Karena itu upayakan
membeli rumah di perumahan yang banyak dihuni dan bukan sekedar ajang
investasi.
12. Banyak rumah beralih fungsi
Masalah ini juga efektif diatasi bila ada persatuan warga. Pasalnya,
developer pun kesulitan mencegahnya karena rumah sudah menjadi milik
penghuni. Sebaiknya ada kesepakatan warga untuk tidak mengubah
peruntukan rumah, karena bukan hanya melanggar tapi juga mengganggu
penghuni lain. Bila ada yang bandel, selain kepada developer,
sampaikan juga keluhan ke pemerintah setempat yang berwenang
meluruskannya. Hal serupa juga perlu dilakukan terhadap perubahan
bentuk rumah. Baik juga meminta developer mengatur tegas soal alih
fungsi dan renovasi rumah itu dalam estate regulation.
13. Fasilitas tidak direalisasikan
Masalah ini sudah dibahas di bagian ketujuh. Yang bisa Anda tanyakan
hanya fasilitas yang wajib disediakan sesuai dengan master plan, dan
mengadukan ke pemerintah setempat bila developer tidak
merealisasikannya. Fasilitas selebihnya tergantung komitmen developer
yang sulit dituntut secara hukum bila tidak dibangun.
14. Perumahan terendam banjir
Lazimnya setiap perumahan sudah memperhitungkan potensi banjir. Kontrol
terhadap kemungkinan itu berada di tangan pemda yang menerbitkan izin.
Biasanya patokan yang dipakai adalah peil (ukuran ketinggian) banjir
setempat. Jadi, tanyakan kepada developer peil banjir itu. Tanya juga
warga di sekitar perumahan mengenai kondisi kawasan, apakah tergenang
saat hujan lebat atau tidak. Lihat posisi perumahan terhadap aliran
sungai, apakah cukup dekat dan cukup tinggi, dan apakah air bisa
dilepas dengan leluasa ke sungai dan selokan. Perumahan mestinya
dilengkapi drainase memadai dan areal resapan seperti ruang terbuka
dan sumur resapan yang terpelihara cukup baik. Dalam sebagian kasus
banjir lebih disebabkan oleh buruknya pengelolaan kota dan rusaknya
area resapan air di hulu. Tapi, baik juga menyimpan brosur berisi
janji-janji developer sampai rumah selesai dibangun dan dihuni. Jadi,
bila perumahan kebanjiran ada bahan untuk menuntut.
15. Developer tidak membangun rumah
Problem ini terjadi kalau membeli rumah di perumahan yang tidak jelas
legalitasnya. Karena itu saat membeli yang pertama dicek adalah
legalitasnya. Supaya lebih aman beli dengan KPR karena bank akan ikut
menelisik legalitas dan reputasi developer. Bisa saja legalitas
lengkap tapi konsep perumahan terlalu muluk sehingga pengembangannya
macet. Pegangan Anda hanya track record developer, dengan menelusuri
proyek-proyek sebelumnya dan animo konsumen terhadap proyek-proyek
itu. Kalau cukup diminati berarti developernya relatif terpercaya.
Melelahkan, memang proses mencari rumah. Jangan heran dalam dunia real
estate dikenal rumus: melihat 100 rumah, menawar 10 unit, menghitung
harga tiga di antaranya, sebelum memutuskan membeli satu. Yoenazh K
Azhar, Bunga Pertiwi
Sepanjang developer membayar kredit konstruksi ke Bank B lancar sebetulnya tidak jadi soal. Bank B tinggal menyerahkan sertifikat yang sudah dipecah, dan sebagai gantinya menerima dana sebesar KPR yang diminta konsumen dari Bank A yang bertindak sebagai penyalur KPR. Yang jadi masalah jika pembayaran kredit konstruksinya bermasalah, pasti developer akan menemui kesulitan dalam mengurus pemecahan sertifikat.
Bank penyalur KPR lazimnya tidak mau mengambil risiko dan menolak permohonan KPR Anda. Ini menjelaskan kenapa di sejumlah perumahan developer membatasi pilihan KPR di bank tertentu. Dalam hal ini yang bisa Anda lakukan adalah mencari perumahan yang kredit konstruksinya tidak bermasalah, perumahan yang sertifikatnya sudah dipecah, atau perumahan yang kredit konstruksi dan KPR-nya dari bank yang sama.
2. Bunga KPR naik, cicilan meningkat
Umumnya bank penyalur KPR saat ini menerapkan sistem bunga efektif floating (mengambang). Sistem bunga ini sensitif terhadap perubahan bunga pasar. Bila bunga pasar naik, bunga KPR ikut naik sehingga cicilan bulan berikutnya juga meningkat.
Ada beberapa kiat untuk mengatasinya. Misalnya, mengajukan KPR dengan angsuran kurang dari 1/3 penghasilan. Jadi, kalau gaji Rp5 juta, ambil KPR dengan cicilan maksimal Rp1,5 juta/bulan. Dengan demikian bila ada kenaikan bunga, penghasilan Anda masih memungkinkan menutup peningkatan cicilan.
Anda juga bisa mengambil program bunga fixed beberapa tahun yang sekarang banyak ditawarkan bank. Dengan bunga fixed cicilan KPR tidak berubah selama, katakanlah 2 – 3 tahun. Saat bunga fixed berakhir, gaji Anda boleh jadi sudah mampu menutup kenaikan cicilan.
Atau, mengambil KPR dari bank dengan sistem bunga anuitas yang relatif lebih stabil (berubah setiap tahun bila bunga pasar berubah). Kalau masih was-was juga, cari bank yang menyalurkan KPR dengan bunga flat atau KPR bank syariah yang cicilannya tetap selama masa KPR. Hanya periode KPR dengan sistem bunga ini lebih pendek (kurang dari 10 tahun).
3. KPR lunas, sertifikat rumah belum diserahkan
Tanah perumahan yang dikembangkan developer umumnya berasal dari banyak pemilik. Karena itu statusnya juga beraneka. Ada yang baru girik, ada yang sudah HGB (SHGB) dan hak milik (SHM), ada yang bahkan tidak dilengkapi dokumen. Setelah dibeli semua tanah itu disertifikatkan atas nama developer dengan status HGB. Inilah yang disebut sertifikat induk.
Saat tanah dikaveling-kaveling dan dipasarkan berikut bangunan, sertifikat induk itu dipecah atas nama konsumen, juga dengan status HGB. Dalam praktik SHGB bersama dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli (AJB), diterima bank dari developer dalam 12 bulan sejak konsumen melunasi bea balik nama (BBN). Jadi, bila Anda mengambil KPR berjangka dua tahun, bank bisa langsung menyerahkan sertifikat begitu kredit lunas.
Tapi, ada saja masalah yang membuat sertifikat belum bisa dipecah dan diserahkan developer ke bank. Misalnya, konflik antarpemegang saham di perusahaan developer yang membuat pemecahan sertifikat terbengkalai. Atau untuk menghemat biaya, pengurusan sertifikat dilakukan sekaligus setelah satu tahap pengembangan selesai melalui oknum kantor pertanahan dan bukan notaris/PPAT.
Sebelum rampung si oknum dimutasi ke bagian lain, sehingga data-data dan dokumen konsumen yang sudah diserahkan developer berceceran. Akibatnya, pengurusan harus diulang melalui oknum pejabat yang baru. Pemecahan sertifikat pun tertunda.
Sama dengan kasus penolakan KPR, pemecahan sertifikat juga bisa terkendala karena kredit konstruksi bermasalah, sementara konsumen menerima KPR dari bank yang berbeda dengan bank penyalur kredit konstruksi. Akibatnya, developer tidak bisa memproses pemecahan sertifikat karena sertifikat induk sudah diagunkan di bank penyalur kredit konstruksi.
Bahkan, yang paling ekstrim pemecahan sertifikat tidak bisa dilakukan karena legalitas tanah bermasalah, atau developer belum mengantungi surat izin peruntukan penggunaan tanah (SIPPT) dan IMB.
Agar tidak mengalami masalah ini, sebaiknya beli rumah di perumahan yang kredit konstruksinya tidak bermasalah, atau yang kredit konstruksi dan KPR-nya dari bank yang sama, karena pemecahan sertifikatnya lebih mudah. Anda bisa menanyakannya ke bank penyalur KPR.
Pastikan perumahan sudah memiliki legalitas komplit: izin penguasaan lahan (izin lokasi), sertifikat induk berstatus HGB atas nama developer, master plan dan site plan yang sudah disahkan pemerintah setempat, SIPPT, IMB, dan izin penggunaan bangunan (IPB) khusus untuk apartemen atau bangunan tinggi. Minta developer menunjukkan copy-nya.
Ada bank yang demi mengejar target, sertifikat induk belum jadi sudah mau meneken akad kredit. Akibatnya proses pemecahan sertifikat berlarut-larut. Sebaiknya transaksi rumah dilakukan dengan notaris/PPAT yang dipakai developer saat membebaskan tanah karena dia mengetahui riwayat tanah tersebut.
4. Serah terima rumah meleset
Masalah ini terbilang paling banyak diadukan konsumen ke YLKI. Banyak faktor yang menyebabkannya. Misalnya, jumlah rumah yang laku belum mencapai skala yang cukup ekonomis untuk dibangun, sehingga developer menunda konstruksi. Ini banyak terjadi pada apartemen yang pengembangannya harus sekali jadi dan butuh modal besar.
Bisa juga serah terima rumah meleset karena developer gagal mendapat kredit konstruksi. Akibatnya proses pematangan lahan dan pembangunan infrastruktur perumahan tersendat dan rumah belum bisa dibangun. Atau legalitas masih dalam proses, tapi developer sudah memasarkan rumah. Begitu proses perizinan bermasalah, pembangunan rumah pun tertunda.
Yang paling blunder, developer salah mengalkulasi biaya pengembangan dan menjualnya terlalu murah untuk ukuran lokasinya, sehingga kesulitan meneruskan pembangunan sesuai janji. Kasus teranyar terjadi pada sebuah apartemen di bilangan Semanggi, Jakarta Selatan. (HousingEstate)
dikutip : http://propertycirebon.wordpress.com/2011/01/12/seputar-masalah-konsumen-perumahan/
0 komentar:
Posting Komentar